Search

edan-edanan (2)

created by akuaka on Sabtu, 14 April 2012

oleh : Kang Putu

“ADA di antara Tuan-tuan yang pernah dengar tentang pembangkangan golongan petani yang menamai kaum Samin?”

Tidak ada yang menjawab.

“Mereka telah membangkang berbareng dengan Perang Aceh paling awal. Mereka membangkang sudah seperempat abad!”

Cap buruk dari Gubernur Jenderal Van Heutsz, penguasa tertinggi di Hindia Belanda – sebagaimana dikisahkan Pramoedya Ananta Toer (Jejak Langkah, 2001: 254) – itu, barangkali yang kali pertama terlontar bagi gerakan Samin. Pembangkang! Dan, memang pembangkangan itu, bagi sang gubernur jenderal, boleh jadi tercermin dalam secuplik ungkapan orang Samin tentang kesamarasa-samarataan. Lemah padha duwe, banyu padha duwe, kayu padha duwe. Tanah, air, dan kayu milik orang banyak. Hutan warisan nenek moyang, dan anak cucu berhak memanfaatkan.

Itu mereka terapkan dalam laku, tindakan. Ketika laku itu diperbuat banyak orang dan disebarluaskan, jadilah gerakan. Gerakan itu, pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, merupakan wujud perjuangan antikolonial. Dengan tujuan: mengusir penjajah Belanda dari tanah Jawa.



Partikel Pasip

Pembawa ajaran itu Samin Surosentika. Dia, tulis Suripan Sadi Hutomo (1996), lahir di Plosokediren, Randublatung, Blora, 1859. Dia bermukim di Desa Klopoduwur, mengganti nama menjadi Samin dan bertani. Dia tak tergolong miskin, karena memiliki tiga bahu sawah, satu bahu huma, dan enam ekor lembu. Dari desa itulah, sekitar tahun 1890, dia menyebarkan ajaran, yang kelak disebut saminisme.

Dalam bidang politik, ajaran Samin maujud sebagai partikel pasip, perlawanan tanpa kekerasan. Pada tahun 1905, orang-orang Samin mengubah tata cara hidup mereka dalam pergaulan sehari-hari. Mereka tak mau lagi membayar pajak, menolak menyetorkan padi ke lumbung desa, menolak mengandangkan sapi dan kerbau ke kandang umum, menolak memperbaiki jalan, menolak jaga malam (ronda), dan menolak kerja paksa atau menjadi blandong.

Ciri utama gerakan Samin, menurut pendapat Paulus Widiyanto (1983), memang perlawanan tanpa kekerasan. Secara politik, perlawanan model itu sebelumnya tak dikenal di dunia. Kelak, orang pun lebih mengenal gerakan tersebut ketika diperkenalkan Mahatma Gandhi di India untuk menentang penguasa kolonial Inggris. Dengan nama: satyagraha.

Samin menyadari benar, gerakan itu harus dijalankan dengan keteguhan. Itu membutuhkan gemblenging tekad, kesungguhan hati, dan “kebersihan diri”. Dengan kata lain,membutuhkan militansi dan kesediaan berkorban luar biasa. Samin dan para pengikutnya sadar benar, risiko gerakan mereka adalah penyitaan harta milik, dipencilkan dari masyarakat, dipenjara, atau dibuang.

Terbukti, tahun 1907 pemerintah kolonial menangkap orang-orang Samin yang mereka nilai hendak memberontak. Pada tahun itu pula Samin Surosentika ditangkap dan dibuang ke Padang, Sumatera Barat. Dia meninggal dunia di tanah pembuangan tahun 1914. Sepeninggal dia, saminisme tidak surut, bahkan menyebar ke Grobogan, Kudus, Pati, Rembang, Madiun, Ngawi, Bojonegoro, Jombang, dan Banyuwangi.

Gerakan mereka memuncak pada tahun 1914 berupa Geger Samin. Orang-orang Samin di berbagai daerah tak mau membayar pajak, tak menghormati para pejabat desa dan pemerintah kolonial, menyerang pamong desa dan polisi, serta mengancam asisten wedana. Tak ayal, banyak pengikut Samin dipenjara. Tahun 1930-an gerekan Samin menyurut. Penyebabnya, sebagaimana dikonstatasikan Suripan, adalah ketiadaan pemimpin yang tangguh.



Citraan Negatif

Rabu, 7 Agustus 2002. Di Desa Klopoduwur, 5 kilometer di selatan pusat kota Blora, menjelang zuhur, udara panas menggerahkan. Debu mengepul setiap kali kendaraan melaju di jalanan. Terik matahari musim kemarau memanggang tubuh. Saat itu di balai desa, Kepala Desa Setyo Agus Widodo (33) menolak tegas cap buruk yang distempelkan ke jidat warga Samin. Gambaran bahwa mereka mbrengkele, keras kepala, adalah citraan negatif dari pemerintah kolonial Belanda. Citraan itu disebarluaskan para pamong praja dan priayi, antek Belanda, pada masa penjajahan. Lambat laun masyarakat awam pun memercayai hal itu.

Empat puluh atau tiga puluh tahun lampau, ujar dia, barangkali warga Samin masih menolak membayar pajak atau kerja bakti, gugur gunung. Namun itu dapat disiasati perangkat desa dengan tembung sing pener. Perangkat desa tak akan meminta mereka membayar pajak tanah, misalnya. Kalimat yang tepat, njaluk dhuwit kanggo mbangun desa. Dan, warga Samin pun memberikan uang senilai, bahkan kerap kali melebihi, permintaan.

Kini, mereka justru proaktif. Kewajiban membayar pajak, misalnya, kerap kali mereka tunaikan bahkan ketika warga lain belum sempat memikirkan. Mereka juga terlibat aktif dalam sambatan, membangun apa saja, bagi kepentingan bersama. Mereka kini sudah lebur, membaur, dengan keseluruhan warga masyarakat. Sulit membedakan mereka dari warga lain. Karena itulah dia tak tahu lagi berapa jiwa anak keturunan orang Samin yang tinggal di Klopoduwur. “Banyak pula yang merantau dan jadi orang di perantauan. Ada sarjana, guru, bahkan tentara,” kata dia.

Namun toh ketika saya menyatakan keinginan menemui salah seorang keturunan warga Samin, dia merekomendasikan sebuah nama. Dan, siang itu pula saya menemui Sardjan (63) di rumahnya, sekitar 500 meter di selatan balai desa. Rumah itu berdinding kayu jati khas pedesaan. Di ruang tamu ada televisi hitam-putih 14 inci, sepeda motor bebek Suzuki RC 100, dan gundukan jagung kering. Tuan rumah tengah menerima empat orang tamu, tiga lelaki dan seorang perempuan. Dua di antara mereka, ternyata suami-istri, berseragam pegawai negeri instansi pemerintah.



Samin Sangkak

Setelah berbincang agak lama baru saya ngeh. Para tamu itu ternyata pasien. Ya, Sardjan, lelaki bertubuh liat dengan wajah belasan tahun lebih muda dari usia sebenarnya itu, adalah wong pinter, wong tuwa. Boleh jadi, karena itulah dia bertanya, “Apa keperluanmu kemari?”

Saya terperangah. Betapa lugas! “Saya ingin menemui anak keturunan orang Samin,” jawab saya. Lagi-lagi saya terperangah saat dia menjawab, “Ning kene ora ana wong Samin. Yen kowe nggoleki aku, sing ana kowe. Wong Samin sing kokgoleki iku Samin sangkak.”

Samin sangkak? “Ya, mereka mengaku-aku Samin. Karena ulah mereka muncul penegrtian bahwa kami bodoh, terbelakang, pembangkang. Padahal, para orang tua kami tak mau membayar pajak, tak mau mblandhong, untuk berjuang, melawan Belanda. Itu juga ulah para pamong praja, pengikut Belanda,” ujar dia, seraya memperhatikan dua larik garam padat di atas meja, media untuk mendeteksi penyakit atau permasalahan pasien.

Saya terdiam, memperhatikan dia melayani keempat tahu hingga mereka berpamitan. Mereka bersalaman dan pulang, tanpa meninggalkan apa pun, sekadar rokok atau uang pembeli garam.

“Sekarang tak ada lagi orang Samin. Semua sama, sama-sama bangsa sendiri. Pemerintahan pun pemerintahan bangsa sendiri. Bukan lagi Belanda, bukan lagi Jepang,” kata Sardjan. Dia mempersilakan saya minum air teh yang disajikan sang istri.

“Dan ajaran Samin? Apakah sampean bersaudara masih nggilut ajaran itu?” tanya saya.

Dia tersenyum. “Ajaran apa? Saya tak tahu ajaran yang kaumaksud,” sahut dia. Saat itu terngiang di telinga saya kata-kata Setyo Agus Widodo. “Ada yang tak pernah hilang dari warga Samin, sampai kini. Kejujuran, kesetaraan, dan rasa persaudaraan!” ujar sang kepala desa. Dan, ada nilai-nilai yang selalu mereka ugemi: manusia hidup aja drengki srei, tukar padu, dahwen ati open, kemeren. Aja ngutil jumput, mbedhog, colong jupuk. Jangan iri hati, dengki, bertengkar. Dan, jangan mencuri dan merampok.

Maka ketika harus meninggalkan rumah Sardjan, karena dia hendak njagong ke Karanggeneng dan Tegaldawa, benak saya terpelintir pertanyaan: Apakah, kini, para pemimpin negeri ini memahami benar secuplik saja ajaran Samin ini? Aja drengki srei, ngutil, jumput, mbedhog….





11 Agustus 2002